Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
loading...

Sejarah Kerajaan Sriwijaya: Lokasi, Raja, Kejayaan, Keruntuhan dan Peninggalan

Sejarah Kerajaan Sriwijaya: Lokasi, Raja, Kejayaan, Keruntuhan dan Peninggalan

Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang pernah berdiri di Pulau Sumatra. Kerajaan ini terletak di sekitar Palembang, ditepian Sungai Musi, Sumatra Selatan. Berdasarkan sumber sejarah mengenai bukti awal keberadaan kerajaan Sriwijaya beradasa dari abad ke-7, seorang pendeta Tiongkok dari Dinasti Tang, I Tsing, menulis bahwa ia pernah mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 dan menetap selama 6 bulan.


Kemudian, prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga ada pada abad ke-7, yakni prasasti Kedukan Bukit di Palembang, tertulis angka tahun 682. Arti kata “Sri” dalam bahasa sansekerta adalah “bercahaya” atau “gemilang”, sedangkan “Wijaya” memiliki arti “kemenangan” atau “Kejayaan”. Maka makna dari nama Sriwijaya adalah kemenangan yang gilang gemilang.

Kerajaan ini banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan wilayah kekuasaan berdasarkan peta membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa Barat, dan Kemungkinan Jawa Tengah.

Namun sayangnya, pengaruh tersebut tidaklah bertahan terlalu lama. Sriwijaya mulai kehilangan pengaruh terhadap daerah bawahannya akibat peperangan yang dihadapinya. Peperangan tersebut antara lain tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 daerah kekuasaan Sriwijaya jatuh ke tangan Kerajaan Dharmasraya.

Setelah kekuasaan Sriwijaya runtuh, keberadaan kerajaan ini mulai terlupakan dan baru dikenal kembali melalui publikasi tahun 1918 dari sejarawan Prancis, George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.

A. Sumber Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Tidak terlalu banyak bukti fisik yang ditemukan untuk mendukung keberadaan Kerajaan Sriwijaya. Belum ada catatan lebih spesifik mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia. Tak ada satupun orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, hal ini disebabkan karena masa lalunya yang terlupakan.

Kerajaan Sriwijaya 600 – 1100 M
Ibu KotaPalembang, Jawa, Kadaram, Dharmasraya
BahasaMelayu Kuno, Sanskerta Jawa Kuno
AgamaBuddha Vajrayana, Buddha Mahayana, Buddha Hinayana, Hindu
Bentuk PemerintahanMonarki
Mata UangEmas dan Perak
PendahuluMinanga Kedah
PenggantiDharmasraya, Kerajaan Singapura

Nama Kerajaan Sriwijaya kembali terdengar setelah dipublikasi kembali oleh sarjana Prancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia. Dalam publikasinya tersebut, dia menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap “San-fo-ts’i”, sebelumnya dibaca “Sribhoja”, dan  beberapa prasasti dalam bahasa Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.

Historiografi Sriwijaya didapat dan disusun dari 2 sumber utama, yakni catatan sejarah Tiongkok dan beberapa prasasti Batu Asia Tenggara yang sudah ditemukan dan diterjemahkan. Catatan biksu peziarah I Ching tentang perjalanannya mengunjungi kerajaan Sriwijaya selama 6 bulan pada tahun 671 sangatlah penting.

Ditemukan pula sekumpulan prasasti Siddhayatra pada abad ke-7 di Palembang dan Pulau Bangka yang merupakan sumber sejarah primer yang penting. Di samping itu, surat kabar regional yang mungkin beberapa mendekati kisah legenda, seperti Kisah Maharaja Javaka dan Raja Khmer, yang sekilas memberikan keterangan.

Tak hanya itu, beberapa catatan musafir India dan Arab juga menceritakan secara samar-samar mengenai kekayaan raja Zabag yang menakjubkan.

Selain sumber sejarah diatas, telah ditemukan juga oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan sudah ada sejak awal masa proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering llir, Sumatra Selatan.

Sayangnya, bagian kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu justru digunakan untuk membuat jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian luas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian buritan untuk menempatkan kemudi.

Perahu kuno ini dibuat menggunakan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Teknik ini dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Tak hanya bangkai perahu, ditemukan pula sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.

Saat itu Sriwijaya menjadi awal simbol kebesaran Sumatra dan kerajaan terbesar di Nusantara. Sekitar abad ke-20, jedua kerajaan ini menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.

Ada berbagai macam penyebutan nama untuk Sriwijaya, seperti orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San fo Qi. Dalam bahasa sansekerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Sedangkan bangsa Arab menyebutnya dengan nama Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu.

Banyaknya nama ini diperkirakan menjadi alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. sementara itu, dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan besar berkaitan dengan Sriwijaya.

B. Letak Geografis dan Pusat Kerajaan Sriwijaya


Letak Geografis dan Pusat Kerajaan Sriwijaya

Berdasarkan prasasti Kedukan Bukit angka tahun 605 saka (683 M), lokasi kerajaan sriwijaya pertama kali didirikan di sekitar Palembang, di tepian Sungai Musi. Prasasti ini menceritakan tentang Dapunta Hyang berasal dari Minanga Tamwan. Namun, lokasi yang tepat dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan.

Teori tentang Palembang sebagai tempat awal Sriwijaya didirikan, bermula saat diajukan oleh Coedes dan didukung oleh Pierre-Yves Manguin. Selain Palembang, masih ada beberapa tempat yang diduga sebagai ibu kota Sriwijaya, yakni Muara Jambi (Sungai Batanghari, Jambi), dan Muara Takus (pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kiri, Riau).

Berdasarkan hasil observasi pada tahun 1993, Pierre Yves Manguin menyimpulkan bahwa pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya berada di Sungai Musi, antara Bukit Seguntung dan Sabokingking yang terletak di Provinsi Sumatra Selatan sekarang. Lebih tepatnya berada di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.

Pendapat ini diperkuat dengan adanya foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menunjukkan bentuk bagunan air, yakni jaringan kanal, parit, kolam, dan pulau buatan yang disusun rapi yang dapat dipastikan situs ini adalah buatan manusia.


Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya
Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (warna hijau) terletak di sebelah barat daya pusat kota Palembang. Situs ini membentuk poros yang menghubungkan Bukit Seguntang dan tepian Sungai Musi.

Bangunan air itu terdiri dari kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas area sekitar 20 hektare. Di kawasan ini juga ditemukan banyak peninggalan purbakala yang merujuk bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat pemukiman dan pusat aktivitas manusia.

Sebelum itu, Soekmono juga berpendapat tentan pusat Sriwijaya yang terletak di kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak hingga ke Muara Tembesi di Provinis Jambi sekarang, dengan syarat Malayu tidak berada di kawasan tersebut. Jika Malayu berada di kawasan itu, maka ia cenderung kepada pendapat Moens, yang berpendapat bahwa letak dari pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya berada di kawasan Candi Muara Takus di Provinsi Riau sekarang, dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing.

Hal ini juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh Raja Sriwijaya yakni Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa tahun 1003 kepada kaisar Tiongkok yang dinamakan Cheng Tien Wan Shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).

Poerbatjaraka juga setuju dengan pendapat Moens, ia berpendapat bahwa Minanga Tamwan disamakan dengan daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, Riau, dekat Candi Muara Takus kini berdiri. Ia berpendapat bahwa kata Tamwan berasal dari kata “Temu”, lalu diterjemahkan sebagai “daerah tempat sungai bertemu”.

Tapi, satu hal yang pasti pada masa penaklukkan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, ibu kota Sriwijaya telah berada di Kadaram (Kedah sekarang). Sementara itu, pada tahun 2013, peneliti arkeologi dari Universitas Indonesia menemukan beberapa situs keagamaan dan tempat tinggal di Muaro Jambi. Temuan ini menunjukkan bahwa pusat awal Sriwijaya mungkin terletak di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, pada tepian Sungai Batang Hari, dan bukan di Sungai Musi seperti pendapat sebelumnya.

Situs arkeologi yang sudah digali mencakup 8 candi di kawasan seluas 12 kilometer persegi, membentang 7,5 kilometer di sepanjang Sungai Batang Hari, serta 80 menapo atau gundukan reruntuhan candi yang belum dipagar.

Situs Muaro Jambi yang ditemukan bercorak Buddha Mahayana-Wajrayana. Situs ini menunjukan bahwa tempat tersebut adalah pusat pembelajaran agama Buddha, hal ini dikaitkan pula dengan tokoh cendikiawan Buddhis terkenal yakni Suvarṇadvipi Dharmakirti dari abad ke-10. Catatan sejarah Tiongkok juga menyebutkan kalau Sriwijaya menampung ribuan biksu.

Ada teori lain yang menunjukkan bahwa Dapunta Hyang berasal dari Pantai Timur Semenanjung Malaya, bahwa Chaiya di Surat Thai, Thailand Selatan merupakan pusat kerajaan Sriwijaya. Ada juga pendapat lain yang menyebutkan bahwa nama kota Chaiya berasal dari kata “Cahaya” dalam bahasa Malayu. Ada juga yang percaya kalau nama Chaiya berasal dari Sriwijaya, dan kota ini adalah pusat Sriwijaya. Teori-teori ini lebih banyak didukung oleh sejarawan Thailand, walaupun secara umum teori ini dianggap kurang tepat.

C. Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Bagian sejarah kali ini akan membahas awal mula pembentukan dan pertumbuhan Sriwijaya, perjalanan Siddhayatra, penaklukkan kawasan, masa keemasan dan masa kemunduran (keruntuhan) kerajaan Srwijaya.

1. Pembentukan dan Pertumbuhan Sriwijaya

Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas wilayah kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di Barat.

Masih terjadi perdebatan diantara para ahli tentang kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, hal ini karena kerajaan mungkin terbiasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibu kota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.

a. Perjalanan Siddhayatra


Perjalanan Siddhayatra
 Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya.

Berdasarkan catatan I Tsing, kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 M. Kemudian, dari Prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 M diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Beliau berlayar dalam perjalanan suci Siddhayatra untuk mengalap berkah, dan memimpin 20.000 tentara dan 312 awak kapal dengan 1312 prajurit berjalan kaki dari Minanga Tamwan menuju Jambi dan Palembang.

Seperti yang diketahui ditas, prasasti kedukan Bukit merupakan prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat kalau prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini.

Sekitar abad ke-7, orang Tionghoa menyatakan ada 2 kerajaan, yakni Malayu dan Kedah yang menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.

Prasasti Kota Kapur tertulis angka tahun 686 yang ditemukan di Pulau Bangka menyebutkan bahwa kemaharajaan Sriwijaya telah menguasai bagian selatan Sumatra, pulau Bangka, Belitung, hingga Lampung.

Prasasti ini juga menceritakan Sri Jayanasa yang telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak patuh kepada Sriwijaya. Peristiwa ini bertepatan dengan runtuhnya Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat, dan Holing (Kerajaan Kalingga) di Jawa Tengah yang berkemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya.

Bhumi Jawa yang dimaksud diatas kemungkinan adalah Tarumanegara. Sriwijaya berhasil tumbuh dan berkembang dengan mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Tiongkok Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

b. Penaklukan Kawasan

Penaklukan KawasanPenaklukan Kawasan

Perkembangan Kemaharajaan Sriwijaya berawal dari Palembang kemudian melakukan ekspansi ke Jawa dan Semenanjung Malaya, dengan begitu Sriwijaya mengendalikan simpul jalur perdagangan utama di Asia Tenggara.

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bekas reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Sekitar abad ke-7, pelabuhan Champa di bagian timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang Sriwijaya. Untuk mencegah hal ini, Maharaja Dharmasetu melancarkan serangan ke kota-kota di Indochina.

Pada abad ke-8, Kota Indrapura di tepian Sungai Mekong menjadi wilayah bawahan Sriwijaya. Sriwijaya kemudian meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai-sampai Raja Khmer Jayawarman II, pendiri kerajaan Khmer memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.

Pada akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, seperti Tarumanegara dan Holing (Kalingga) berada dibawah kekuasaan Sriwijaya. Merujuk pada catatan sejarah, pada masa ini juga wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Pada abad ini juga, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian dari kerajaan. kemudian, pan pan dan Trambralinga yang terletak di sebelah utara Langkasuka juga turut menjadi daerah kekuasaan Sriwijaya.

Selanjutnya kerajaan diteruskan oleh Samaratungga setelah Dharmasetu wafat. Ia menjabat pemerintahan dari 792 hingga 835 M. Pada masa pemerintahannya, samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, melainkan memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa pemerintahannya, ia membangun Candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.

2. Masa Kejayaan Kerajaan Sriwijaya

Menurut catatan sejarah dari Arab, nama Sriwijaya disebut dengan Sribuza. Sekitar tahun 955 M, Al Masudi seorang musafir sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Di dalam catatannya tersebut, Sriwijaya digambarkan sebagai sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Saking luasnya wilayah kekuasaan Sriwijaya, disebutkan bahwa kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya.


Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya
Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.

Hasil bumi kerajaan Sriwijaya pada masa itu berupa kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir, dan beberapa hasil bumi lainnya. Sumber lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Pendapat ini disampaikan oleh seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab.

Abu Zaid menuliskan keterangan bahwa Kerajaan Zabaj (Sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab) memiliki tanah yang subur dan kekuasaan yang luas hingga ke seberang lautan.

a. Hubungan Kerajaan Sriwijaya dengan Wangsa Sailendra

Hubungan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra muncul karena terdapat nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti, di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India.

Sementara itu, pada prasasti Sojomerto ditemukan nama Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis menggunakan bahasa Melayu Kuno, dan bahasa Melayu umumnya digunakan di Sumatra, maka diperkirakan wangsa Sailendra berasal dari Sumatra, meskipun asal usul bahasa Melayu ini masih menunggu hasil penelitian hingga kini.

Pendapat dari Majumdar menyatakan bahwa dinasti Sailendra terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduangan berasal dari Kalingga di Selatan India. Pendapat Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.

Poerbatjaraka pun berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, hal ini didasarkan pada Carita Parahyangan kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuno diantaranya prasasti Sojomerto.

Ciri Kemaharajaan Sriwijaya adalah kerajaan maritim yang mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut bea cukai, setra untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaannya.

Berdasarkan catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, seperti Sumatra, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Berkuasa atas Selat Malaka dan Selat Sunda (jalur perdaganagn rempah dan perdagangan lokal), Sriwijaya mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Kekayaan Sriwijaya didapatkan dari hasil jasa pelabuhan dan gudang perdaganagn yang melayani pasar Tiongkok dan India.

b. Kekuasaan Sriwijaya di Jawa


Kekuasaan Sriwijaya di Jawa
Borobudur dirampungkan pada masa pemerintahan Samaratunga dari wangsa Sailendra.

Wangsa Sailendra di Jawa melakukan persekutuan dengan trah Sriwijaya di Sumatra, kemudian mendirikan pemerintahan mereka di Kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah. Pewaris Dharanindra di Jawa adalah Samaragrawira (800-819) tertulis di dalam prasasti Nalanda (860) sebagai ayah dari Balaputradewa, dan putra dari Śailendravamsatilaka (perhiasan keluarga Śailendra) dengan nama gelaran Śrīviravairimathana (pembunuh perwira musuh), yang merujuk kepada Dharanindra.

Rakai Warak adalah seorang yang cenderung cinta damai, tak seperti pendahulunya, Raja Dharanindra yang suka berperang. Ia lebih suka menikmati kemakmuran dan kedamaian Dataran Kedu di pedalaman Jawa, dan lebih tertarik untuk menyelesaikan proyek pembangunan Candi Borobudur.

Dia mengangkat seorang pangeran Khmer bernama Jayawarman sebagai Gubernur Indrapura di delta Sungai Mekong di bawah kekuasaan Sailendra. Keputusannya ini terbukti salah, karena Jayawarman memberontak dan memindahkan ibu kota lebih jauh ke pedalaman utara dari Tonle Sap ke Mahendraparwata, kemudian ia memutuskan hubungan dan memproklamasikan kemerdekaan Kamboja dari Jawa pada tahun 802.

Rakai Warak diperkirakan sebagai raja Jawa yang menikahi Tara, putri Dharmasetu dari Sriwijaya. Ia dipanggil dengan nama lainnya Rakai Warak dalam prasasti Mantyasih. Sejarawan dahulu seperti N.J. Krom, dan Coedes cenderung menyamakan Rakai Warak dengan Samaratungga. Namun, sejarawan sekarang seperti Slamet Muljana menyamakan Samaratungga dengan Rakai Garung, yang disebutkan dalam prasasti Mantyasih sebagai raja kelima kerajaan Mataram. Dengan begitu berarti Samaratungga adalah penerus dari Rakai Warak.

Dewi Tara, Putri Dharmasetu, menikah dengan Samaratungga yang merupakan seorang anggota keluarga Sailendra yang kemudian naik tahta Sriwijaya sekitar 792. Istana Sriwijaya pada abad ke-8 berada di Jawa, karena para raja dari wangsa Sailendra diangkat sebagai Maharaja Sriwijaya.

Menurut pendapat George Codes, pada paruh kedua abad ke-9, jawa dan Sumatra bersatu di bawah kekuasaan wangsa Sailendra yang memerintah di Jawa dengan pusat perdagangan di Palembang. Samaratungga lebih dipengaruhi oleh kepercayaan Buddha Mahayana yang cinta damai. Ia berusaha menjadi seorang pemimpin yang welas asih.

Pengganti Samaratungga adalah putri Pramodhawardhani yang bertunangan dengan Rakai Pikatan yang menganut ajaran Siwa. Dia merupakan putra dari Rakai Patapan, seorang rakai (penguasa daerah) yang cukup berpengaruh di Jawa Tengah.

Langkah politik ini adalah bentuk upaya mengamankan perdamaian dan kekuasaan Sailendra di Jawa, yakni dengan cara mendamaikan hubungan antara golongan Buddha Mahayana dengan Hindu Siwa.

c. Kembali ke Palembang

Akan tetapi, ada pertentangan dari Pangeran Balaputradewa terkait pemerintahan Pikatan dan Pramodhawardhani di Jawa Tengah. Hubungan antara Balaputradewa dan Pramodhawardhani mendapat pandangan berbeda dari para sejarawan.

Pendapat dari sejarawan terdahulu, seperti Bosch dan De Casparis mengatakan bahwa Balaputra adalah anak dari Samaratungga, berarti Balaputra adalah adik dari Pramodhawardhani. Sedangkan menurut sejarawan kini, seperti Muljana menyatakan bahwa Balaputra adalah anak dari Rakai Warak dan adik dari Samaratungga, berarti Balaputra adalah paman dari Pramodhawardhani.

Belum diketahui secara pasti, apakah Balaputradewa kalah dalam sengketa melawan Pikatan, atau dia memang sudah memimpin di Suwarnadwipa (Sumatra) sebelum pecahnya perselisihan mengenai kekuasaan ini. bagaimanapun juga, wangsa Sailendra akhirnya terpecah menjadi dua, yakni jawa tengah yang dikuasai Pikatan dan Pramodhawardhani, sedangkan palembang dikuasai Balaputradewa.

Sebahagian sejarawan berpendapat tentang ibunda Balaputra, Dewi Tara, permaisuri dari Raja Rakai Warak merupakan putri dari Sriwijaya. Dengan begitu Balaputra menjadi pewaris tahta Sriwijaya di Suamatera, kemudian dia dinobatkan sebagai Maharaja Sriwijaya dan mengklaim sebagai pewaris sah wangsa Sailendra dari Jawa, seperti yang tertulis dalam Prasasti Nalanda tahun 860.

d. Berperang Melawan Jawa

Seperti yang diceritakan diatas bahwa kerajaan Sriwijaya mendominasi jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10. Akan tetapi, pada akhir abad itu Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menentang dominasi Sriwijaya.

Berperang Melawan Jawa
Kapal Borobudur bercadik yang ditampilkan di Borobudur. Pada 990 Raja Dharmawangsa dari Jawa mengirim armada kapal perang untuk menyerbu Sriwijaya di Sumatra.

Berita dari Tiongkok pada masa Dinasti Song menyebutkan bahwa Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa bernama She-po. Diceritakan bahwa, San-fo-tsi dan She-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara.

Kedua kerajaan itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi berangkat pada tahun 988 dan tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan ini diduga berlangsung selama 988 hingga 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.

Kemudian pada tahun 992, duta Sriwijaya mencoba pulang kembali namun tertahan lagi di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan dari Jawa juga tiba di Tiongkok pada tahun yang sama, ia dikirim oleh rajanya yang naik tahta tahun 991 yakni Dharmawangsa Teguh.

Kerajaan Medang akhirnya berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun setelah itu pasukan Medang berhasil dipukul mundur kembali oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit bertaikh 997 juga menyebutkan adanya serangan dari Jawa terhadap Sumatra.

Serangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal, karena Jawa belum bisa membangun pijakan di Sumatra. Walaupun sudah menguasai ibu kota di Palembang, namun hal itu belumlah cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka.

Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa berhasil meloloskan diri keluar dari ibu kota dan bekeliling mengumpulkan kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan juga raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara jawa. Sriwijaya menunjukkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berhasil memukul mundur angkatan laut Jawa.

Sri Cudamani Warmadewa kembali menunjukkan kecakapan diplomasinya, ia berhasil memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia kembali mengirim utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah Candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan Kaisar agar panjang umur.

Kaisar yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu Cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu. Candi yang dimaksud diperkirakan Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus.

Serangan dari Jawa ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa. Maka Sriwijaya mulai menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Berdasarkan prasasti Pucangan disebutkan tentang peristiwa Mahapralaya, yakni peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, dimana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir yakni Dharmawangsa Teguh. Dengan begitu, banyak yang menyebutkan bahwa Sriwijaya berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa.

3. Masa Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya


a. Serangan dari Kerajaan Chola

Pada tahun 1017 dan 1025, raja Rajendra Chola I dari dinasti Chola di Koromandel, India Selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore angka tahun 1030, kerajaan Cola telah mengalahkan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar serta menawan raja Sriwijaya yang berkuasa saat itu Sangrama-Vijayottunggawarman.

Sebuah lukisan dari Siam menunjukkan penyerangan Chola di Kedah.
Sebuah lukisan dari Siam menunjukkan penyerangan Chola di Kedah.

Selang beberapa dekade berikutnya, seluruh kerajaan Sriwijaya sudah berada dalam pengaruh Dinasti Chola. Meski begitu Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukkannya untuk tetap berkuasa selama mereka tetap tunduk kepadanya.

Faktor alam juga menjadi salah satu alasan kemunduran Sriwijaya, yakni terjadinya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang datang ke Palembang semakin berkurang.

Oleh karena itu, Kota Palembang menjadi tidak strategis karena semakin jauh dari laut yang menyebabkan kapal-kapal dagang yang datang semakin berkurang, secara otomatis pajak pun berkurang dan membuat ekonomi Sriwijaya makin melemah.

Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatra, sampai Jawa bagian barat.

D. Kehidupan Politik, Ekonomi, Agama, Sosial dan Budaya 


1. Kehidupan Politik Kerajaan Sriwijaya

Masyarakat Sriwijaya sangat mengenal stratafikasi sosial dan kemajemukan. Pembentukan struktur otoritasi politik Sriwijaya bisa dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.

Kadātuan memiliki arti kawasan dātu atau tanah rumah tempat tinggal bini haji, tempat disimpannya mas dan hasil cukai sebagai kawasan yang mesti dilindungi. Kadātuan dikeliling oleh vanua, yang dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat Vihara tempat beribadah masyarakatnya.

Menurut pendapat Casparis, samaryyāda adalah kawasan yang berbatasan dengan vanua dan terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) ke kawasan pedalaman. Sedangkan Mandala adalah satu kawasan otonom dari Bhumi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadatuan Sriwijaya.

Seorang penguasa di Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dibawahnya terdapat susunan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).

Berdasarkan pada Prasasti Telaga Batu, terdapat bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada pada jaman Sriwijaya. Jabatan dan Pekerjaan yang tertulis dalam prasasti itu antara lain raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim).

Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja), Adyaksi nijawarna/wasikarana (pandai besi/ pembuat senjata pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga (peniaga), pratisra (pemimpin kelompok kerja), marsi haji (tukang cuci), dan hulun haji (budak raja).

Menurut Kronik Tiongkok yang berjudul Hsin Tang-shu, Sriwijaya dibagi menjadi dua bagian. Seperti yang telah disebutkan diatas, Dapunta Hyang memiliki dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua).

Menurut pendapat Profesor dari Universiti Sains Malaysia yakni Ahmad Jelani Halimi, mengatakan bahwa pembagian ini dilakukan untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya.

2. Kehidupan Ekonomi 

Kehidupan ekonomi kerajaan Sriwijaya bergantung pada bidang perdagangan. Dalam dunia perdagangan Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan menguasai Selat Malaka dan Selat Sunda.

Model kapal Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur.
Model kapal Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur.

Musafir Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki banyak aneka komoditas, seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkih, pala, kapulaga, gading, emas, dan timah. Hasil bumi inilah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.

Dengan melimpahnya kekayaan Sriwijaya memungkinkan mereka untuk membeli sedetiaan dari vassal-vassal nya di seluruh Asia Tenggara. Perannya sebagai pelabuhan utama di Asia Tenggara dan mendapat restu, persetujuan, serta perlindungan dari Kaisar Tiongkok untuk bisa berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jaringan perdaganagan bahari dan menguasai urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.

Dengan alasan itulah Sriwijaya harus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi bahkan jika perlu memerangi pelabuhan yang ingin menyainginya. Kebutuhan akan penjagaan monopoli perdaganagn membuat Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam Mandala Sriwijaya.

Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya.

Didalam catatan sejarah Champa tertulis serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa ke beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Diduga yang menyerbu adalah armada Sriwijaya, karena pada waktu itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari Mandala Sriwijaya. Upaya ini semeta-mata untuk mempertahankan monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara. Tercatat bahwa Sriwijaya berjaya dalam hal perdagangan dari tahun 670 hingga 1025 M.

Terdapat bukti kejayaan Sriwijaya didalam relief Borobudur yang menggambarkan Kapal Borobudur, kapal dengan kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8 M. Cadik ini berfungsi untuk menyeimbangkan perahu, cadik tunggal dan cadik berganda adalah ciri khas perahu bangsa Ausrtonesia. Perahu bercadik ini juga yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Osenia, dan Samudera Hindia. Kapal bercadik yang terekam di dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam peralayaran antar pulaunya.

Tak hanya menjalin hubungan dagangan dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin hubungan dagang dengan Arab. Diperkirakan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, dia kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadian berupa Zanji (budak wanita berkulit hitam).

Sekitar paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, Kerajaan Min dan Kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guandong. Tak dipungkiri kalau Sriwijaya mendapat keuntungan besar dari perdagangan ini.

3. Kehidupan Sosial

Kehidupan sosial masyarakat kerajaan Sriwijaya sangat kompleks, berlapis, kosmopolitan, dan makmur, dengan cita rasa nan halus dalam seni, sastra, dan budaya. Serangkaian ritual dipengaruhi ajaran Buddha Mahayana dan berkembang di masyarakat Sriwijaya.

Tatanan sosial yang rumit bisa dilihat dari studi prasasti, catatan sejarah asing, dan peninggalan candi-candi yang berasal dari periode ini. kerajaan Sriwijaya sudah mengembangkan masyarakat yang maju, hal ini ditandai dengan kemajemukan masyarakat mereka, stratifikasi sosial, dan pembentukan lembaga administratif nasional kerajaan mereka.

4. Kehidupan Agama

Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, hal ini menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Contohnya pendeta dari Tiongkok I Tsing yang melakukan kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695. I Tsing menceritakan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha.

Penyebaran ajaran Buddha dari India
Penyebaran ajaran Buddha dari India utara ke bagian lain di Asia, Sriwijaya pernah berperan sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran ajaran Buddha.

Selain cerita diatas, ada juga cerita yang dibawakan oleh I Tsing yang menyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Buddha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya. Isi berita tersebut adalah:

“Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta mempraktikkan Dharma dengan baik. Mereka menganalisis dan mempelajari semua topik ajaran sebagaimana yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah berbeda sama sekali [dengan yang ada di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok akan pergi ke Universitas Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari naskah-naskah Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun waktu 1 atau 2 tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan tepat.”

Kerajaan Sriwijaya dipengaruhi oleh budaya dari India, pertama dari budaya Hindu selanjutnya diikuti oleh agama Buddha. Peranan terhadap Buddha dibuktikan dengan membangun tempat peribadatan agama Budha di Ligor, Thailand.

5. Kehidupan Seni dan Budaya

Corak seni dan budaya kerajaan Sriwijaya dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana yang digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Contohnya prasasti di abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa persemian taman Sriksetra, anugrag Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya.

Kemudian prasasti Telaga Batu yang menggambarkan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara prasasti Kota Kapur menggambarkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti diatas ditulis menggunakan aksara Melayu Kuno. Sejak abad ke-7, bahasa melayu kuno sudah digunakan di Nusantara, hal ini dibuktikan dengan ditemukannnya berbagai prasasti Sriwijaya yang ditulis menggunakan Bahasa Melayu Kuno.

Semua arca yang ditemukan menampilkan keagunggan dan langgam yang sama yang disebut dengan “Seni Sriwijaya” atau “Langgam Sriwijaya”.

E. Raja-raja Kerajaan Sriwijaya


Raja-raja Kerajaan Sriwijaya

Berikut adalah daftar raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Sriwijaya dari raja pertama sampai raja terakhirnya.

NoNama RajaTahunIbu KotaBukti Sejarah
1Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa671Srivijaya Shih-li-fo-shihCatatan perjalanan I Tsing pada tahun 671-685, Penaklukan Malayu, penaklukan Jawa Prasasti Kedukan Bukit (683), Talang Tuo (684), Kota Kapur (686), Karang Brahi dan Palas Pasemah
2Rudra Wikrama Liu-t'eng-wei-kung728-742Sriwijaya Shih-li-fo-shihUtusan ke Tiongkok 728-742
3Sri Indrawarman Shih-li-t-'o-pa-mo702Sriwijaya Shih-li-fo-shihUtusan ke Tiongkok 702-716, 724
4Sri Maharaja775SriwijayaPrasasti Ligor B tahun 775 di Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand dan menaklukkan Kamboja
Pindah ke Jawa (Jawa Tengah atau Yogyakarta)Wangsa Sailendra mengantikan Wangsa Sanjaya
5Dharanindra atau Rakai Panangkaran778JawaPrasasti Kelurak 782 di sebelah utara kompleks Candi Prambanan Prasasti Kalasan tahun 778 di Candi Kalasa
6Samaragrawira atau Rakai Warak782JawaPrasasti Nalanda dan prasasti Mantyasih tahun 907
7Samaratungga atau Rakai Garung792JawaPrasasti Karang Tengah tahun 824,825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur
8Balaputradewa856SuwarnadwipaKehilangan kekuasaan di Jawa, dan kembali ke Suwarnadwipa Prasasti Nalanda tahun 860, India
9Sri Udayaditya Warmadewa Se-li-hou-ta-hia-li-tan960Sriwijaya San-fo-ts'iUtusan ke Tiongkok 960,& 962
10Sri Cudamani Warmadewa Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa988Sriwijaya Malayagiri (Suwarnadwipa) San-fo-ts'i990 Jawa menyerang Sriwijaya, Catatan Atiśa, Utusan ke Tiongkok 988-992-1003, pembangunan candi untuk kaisar Tiongkok yang diberi nama  cheng tien wan shou
11Sri Mara-Vijayottunggawarman Se-li-ma-la-pi1008San-fo-ts'i KatahaPrasasti Leiden & utusan ke Tiongkok 1008
12Haji Sumatrabhumi Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u1017Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017: dengan raja, Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u (Haji Sumatrabhumi, gelar haji biasanya untuk raja bawahan
13Sangrama-Vijayottunggawarman1025Sriwijaya KadaramDiserang oleh Rajendra Chola I dan menjadi tawanan Prasasti Tanjore bertarikh 1030 pada candi Rajaraja, Tanjore, India

14
Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa1183DharmasrayaDibawah Dinasti Mauli, Kerajaan Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand

F. Peninggalan Kerajaan Sriwijaya


Peninggalan Kerajaan Sriwijaya

Walaupun Sriwijaya disebut memiliki kekuatan ekonomi dan militer yang besar, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit peninggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatra. Hal ini berbeda jauh dengan masa Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar.

Monumen tersebut seperti Candi Kalasan, Candi Sewu dan Candi Borobudur. Sedangkan candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatra seperti Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Candi-candi di Jawa Tengah terbuat dari batu andesit, sedangkan candi di Sumatra terbuat dari batu bata merah.

Ditemukan juga beberapa arca-arca bercorak Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang, dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatra Selatan.

Selain itu, ada juga peninggalan kerajaan Sriwijaya berupa prasasti. Berikut adalah prasasti-prasasti tersebut:

1. Prasasti Kota Kapur


Prasasti Kota Kapur

Prasasti ini ditemukan di bagian barat Pulau Bangka, Sumatera Selatan pada tahun 1892. Prasasti ditulis menggunakan bahasa Melayu Kuno dan aksara Pallawa. Prasasti ini berisi tentang kutukan bagi siapa saja yang berani membantah perintah dan kekuasaan kerajaan akan terkena kutukan.


2. Prasasti Kedukan Bukit


Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti ini ditemukan di Kampung Kedukan Bukit, kelurahan 35 ilir pada tanggal 29 November 1920. Prasasti ini memiliki ukuran sekitar 45 x 80 cm yang ditulis menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno.

Prasasti ini bercerita tentang seorang utusan kerajaan yang bernama Dapunta Hyang yang melakukan perjalanan suci atau sidhayarta dengan menggunakan perahu, diiringi 2000 pasukan, dan perjalanannya membuahkan hasil. Prasasti ini sekarang bisa ditemukan di Museum Nasional Indonesia.

3. Prasasti Talaga Batu


Prasasti Talaga Batu

Prasasti ini ditemukan pertama kali di sekitaran kolam Telaga Biru, kelurahan 3 ilir, kecamatan ilir Timur, Palembang. Prasasti ini ditulis mengguanakn aksara pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Isi dari prasasti ini adalah kutukan bagi orang yang berbuat jahat di Sriwijaya. Prasasti ini kini disimpan di Museum Nasional Indonesia.

4. Prasasti Talang Tuwo


Prasasti Talang Tuwo

Prasasti ini ditemukan di Kaki Bukit Seguntang di sekitar tepian utara Sungai Musi oleh Residen Palembang, yakni Louis Constant Westernenk pada tahun 1920. Prasasti ini berisi doa-doa dedikasi dan bukti perkembangan agama Budha di Sriwijaya.

5. Prasasti Ligor


Prasasti Ligor

Prasasti ini ditemukan di Thailand Selatan, prasasti ini memiliki dua buah sisi, yakni sisi A dan sisi B. Pada bagian sisi A berisi tentang gagahnya raja Sriwijaya yang merupakan raja dari segala raja dunia yang sudah mendirikan Trisamaya Caiya bagi Kajara.

Sedangkan pada bagian sisi B berisi tentang pemberian gelar Wisnu Sesawarimadawimathana kepada Sri Maharaja yang berasal dari Keluarga Sailendra.

6. Prasasti Palas Pasemah


Prasasti Palas Pasemah

Prasasti ini ditemukan di Desa Palas Pasemah, Lampung Selatan. Prasasti ditulis menggunakan aksara pallawa dan bahasa Melayu Kuno terdiri dari 13 baris kalimat. Prasasti ini berisi tentang kutukan kepada orang yang tidak mau tunduk pada kekuasaan Sriwijaya.

7. Prasasti Karang Brahi


Prasasti Karang Brahi

Prasasti ini ditemukan di sekitar tepian Sungai Batang Merangin, Jambi, oleh Kontrolir L. M. Berkhout. Isi dari prasasti ini kurang lebih hampir sama dengan prasasti Palas Merah, yakni kutukan bagi orang yang tidak tunduk kepada kukuasaan Sriwijaya.

Demikianlah penjelasan lengkap mengenai Kerajaan Sriwijaya. Semoga artikel ini bisa bermanfaat dan membantu kamu dalam membuat makalah atau tugas sekolah. Terimakasih sudah berkunjung.

Post a Comment for "Sejarah Kerajaan Sriwijaya: Lokasi, Raja, Kejayaan, Keruntuhan dan Peninggalan"

loading...
loading...
loading...