Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
loading...

Sumber Sejarah Kerajaan Kediri :Silsilah, Kehidupan, Kejayaan, Keruntuhan dan Peninggalan

Sumber Sejarah Kerajaan Kediri :Silsilah, Kehidupan, Kejayaan, Keruntuhan dan Peninggalan

Kerajaan Kediri atau yang dikenal dengan Kerajaan Panjalu merupakan kerajaan dengan corak Hindu di Jawa Timur yang berdiri antara tahun 1042-1222. Lantas, seperti apa sumber sejarah, silsilah kerajaan, kehidupan pada saat itu, masa kejayaan, masa runtuh, dan peninggalan kerajaan kediri ? Dibawah ini akan kita bahas secara lengkap dan tuntas.


Kerajaan Kediri meletakkan pusat pemerintahan di Kota Daha yang sekarang terletak di Kota Kediri. Kota Daha ini sudah ada terlebih dahulu sebelum kerajaan ini berdiri. Daha diambil dari singkatan kata Dahanapura yang berarti Kota Api. Pemberian nama kota ini tercantum dalam sebuah prasasti Pamwatan keluaran Airlangga pada tahun 1042.

Hal diatas juga sama dengan berita yang dimuat dalam Serat Calon Arang, yang menyatakan bahwa diakhir pemerintahan Airlangga pusat pemerintahan kerajaan sudah dipindah ke Daha. Kerajaan Kediri juga salah satu bagian dari pecahan Kerajaan Kahuripan di tahun 1045. Ketika itu letak Kerajaan Kediri berada di bagian selatan Kerajaan Kahuripan.

Pada akhir tahun 1042, Airlangga terpaksa harus membagi wilayah kerajaan karena kedua putranya saling berebut tahta kerajaan. Kedua putranya tersebut bernama Sri Samarawijaya dan Manpanji Garasakan. Sri Samarawijaya mendapat kerajaan bagian barat bernama Panjalu dengan pusat pemerintahan di Kota Baru Daha. Sedangkan Mapanji Garasakan mendapat kerajaan timur bernama Jenggala dengan pusat pemerintahan di Kota Lama yakni Kahuripan.

Belum ada bukti yang pasti tentang pembagian kerajaan tersebut. Akan tetapi, dalam prasasti Badab disebutkan bahawa kerajaan dibagi menjadi 4 atau 5 bagian. Tapi, dalam perkembangannya hanya dua kerajaan saja yang sering disebutkan, yakni kerajaan Kediri (Panjalu) dan Jenggala.

Kerajaan Kediri akhirnya tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin terpuruk. Hal ini dikarenakan Kerajaan Jenggala berhasil ditaklukkan oleh Kerajaan Kediri. Berdasarkan pendapat dari Nagarakertagama menyebutkan sebelum kerajaan dibagi menjadi dua bagian, kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu.

Oleh sebab itu, Kerajaan Jenggala adalah pecahan dari Kerajaan Panjalu. Sedangkan nama Kahuripan diambil dari nama dari kota lama yang sudah ditinggalkan oleh Airlangga, kemudian diubah menjadi ibu kota Janggala.

Penggunaan nama Panjalu lebih sering digunakan dibanding dengan nama Kediri. Hal ini diperkuat dengan beberapa prasasti yang dibuat oleh raja-raja Kediri. Selain itu, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina yang berjudul Ling wai tai ta (1178).

Kadiri
1045–1222
Kerajaan Janggala dan Panjalu (Kediri), kemudian bersatu menjadi Kerajaan Kediri
Kerajaan Janggala dan Panjalu (Kediri), kemudian bersatu menjadi Kerajaan Kediri
Ibu KotaDaha, Dahanapura
BahasaJawa Kuno
AgamaKejawen, Hinduisme, Buddhisme, Animisme
Bentuk PemerintahanMonarki
Mata UangKoin emas dan perak
PendahuluKerajaan Kahuripan
PenggantiKerajaan Singasari

A. Sumber Sejarah Kerajaan Kediri


Sumber Sejarah Kerajaan Kediri

Kita bisa telusuri berbagai sumber sejarah Kerajaan Kediri dari prasasti-prasasti dan berita media asing yang dapat kita temukan hingga saat ini. Berikut beberapa sumber sejarah tersebut:

1. Prasasti Banjaran 

Tertulis angka tahun 1052 M yang menceritakan kemenangan Panjalu atas Jenggala.

2. Prasasti Hantang 

Tertulis angka tahun 1052 M yang menceritakan Panjalu pada masa Jayabaya.

3. Prasasti Sirah Keting 

Tertulis angka tahun 1104 M yang menceritakan tentang pemberian hadiah tanah kepada rakyat desa oleh raja Jayawarsa.

4. Prasasti yang ditemukan di Tulungagung dan Kertosono 

Berisi masalah keagamaan, dikeluarkan oleh raja Bameswara.

5. Prasasti Ngantang 

Tertulis angka tahun 1135 M, menceritakan tentang raja Jayabaya yang sudah memberikan hadiah kepada rakyat seda Ngantang sebidang tanah yang bebas pajak.

6. Prasasti Jaring 

Tertulis angka tahun 1181 M dikeluarkan oleh Raja Gandra, menceritakan tentang sejumlah nama pejabat dengan penggunaan nama hewan seperti Kebo Waruga dan Tikus Jinada.

7. Prasasti Kamulan 

Tertulis angka tahun 1194 M, mencertikan tentang waktu pemerintahan Kertajaya yang berhasil menaklukan musuh yang sudah memusuhi istana Katang-katang.

8. Candi Penataran

Merupakan candi termegah dan terluas yang ada di Jawa Timur dan berada di lereng barat daya Gunung Kelud. Candi ini diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Raja Srengga sekitar tahun 1200 M. Kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan Wikramawardhana yang merupakan raja dari Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1415 M.

9. Candi Gurah

Terletak di kecamatan Kediri, Jawa Timur. Pada tahun 1957 juga pernah ditemukan sebuah candi yang bernama Candi Gurah yang jaraknya kurang lebih 2 km dari Situs Tondowongso. Akan tetapi, akibat kurangnya dana, candi ini dikubur kembali.

10. Candi Tondowongso

Adalah salah satu situs purbakala yang ditemukan pada awal tahun 2007 di Dusun Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Candi ini menjadi salah satu temuan terbesar pada periode klasik sejarah Indonesia dalam 30 tahun terakhir karena luasnya yang lebih dari satu hektare. Pada tahun 1957, prof. Soekmono juga menemukan satu arca dilokasi ini.

Awal ditemukannya situs ini dari penemuan sejumlah arca oleh sejumlah perajin batu bata setempat. Situs ini diyakini peninggalan Kerajaan Kediri pada awal abad ke XI, waktu awal perpindahan pusat politik dari kawasan Jawa Tengah ke Jawa Timur, hal ini didasarkan pada bentuk dan tatanan gaya arcanya. Kerajaan Kediri selama ini dikenal dengan karya sastranya saja, tapi belum banyak diketahui peninggalannya baik dalam bentuk bangunan atau hasil pahatan.

11. Arca Budha Bajrasattva

Merupakan arca yang berasal dari masa Kerajaan Kediri pada abad ke X atau XI. Saat ini arca tersebut menjadi Koleksi Museum fur Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.

12. Prasasti Galunggung

Berada di Rejotangan, Tulungagung dengan tinggi skitar 160 cm, lebar atas 80 cm, dan lebar bawah 75 cm. Prasasti ini ditulis menggunakan huruf jawa kuno dengan penulisan yang rapi. Terdapat 20 baris tulisan yang masih bisa dilihat dengan jelas.

Ada juga pada sisi lain prasasti yang hurufnya telah hilang karena rusak dimakan oleh usia. Pada bagian depan terdapat sebuah lambang dengan bentuk lingkaran. Pada bagian tengah lingkaran terdapat gambar persegi panjang dengan beberapa logo. Selain itu, ada juga tertulis angka 1123 C disalah satu bagian prasasti.

13. Candi Tuban

Pertama kali ditemukan pada tahun 1967 ketika terjadi gelombang tragedi 1965 yang melanda Tulungagung. Aksi Ikonoklastik adalah aksi yang menghancurkan ikon-ikon kebudayaan serta benda yang dianggap berhala. Candi Mirigambar luput dari pengrusakan karena ada petinggi desa yang melarang untuk merusak candi ini dan kawasan candi dianggap angker.

Aksi pun beralih menuju Candi Tuban, penamaan ini diambil karena lokasinya ada di Dukuh Tuban, Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung. Candi ini terletak sekitar 500 meter dari lokasi Candi Mirigambar. Yang tersisa dari candi ini adalah bagian pondasinya saja. Setalah dirusah, candi ini dipendam dan saat ini pada bagian atas candi sudah berdiri kandang kambing, ayam, dan bebek.

Menurut pendapat salah satu warga setempat, jika warga setempat mau menggalinya kira-kira setengah atau satu meter dari dalam tanah, pondasi Candi Tuban bisa terungkap dan relatif masih utuh. Motif pengrusakan Candi Tuban didasarkan pada legenda bahwa Candi Tuban mengisahkan tokoh laki-laki bernama Aryo Damar, yang dalam legenda Angling Dharma disebutkan jika tokoh tersebut dihancurkan, maka dapat dianggap sebagai sebuah kemenangan.

14. Prasasti Panumbangan

Dibuat pada tanggal 2 agustus 1120 oleh Maharaja Bameswara. Prasasti ini merupakan permohonan penduduk dari desa Panumbangan agar piagam mereka yang tertulis di atas daun lontar ditulis kembali di atas batu. Prasasti ini menceritakan tentang penetapan desa Panumbangan sebagai sima swatantra pada raja sebelumnya yang telah dimakamkan di Gajapada. Raja yang dimaksud dalam prasasti ini adalah Sri Jayawrsa.

15. Prasasti Talan

Atau biasa dikenal dengan prasasti Munggut berada di Dusun Gurit, Kabupaten Blitar. Pada prasasti tertulis angka tahun 1058 Saka atau tahun 1136 Masehi. Cap prasasti terbentuk dari Garudhamukalancanadi sisi atas prasasti dalam badan manusa dengan bentuk kepala seperti burung garuda serta bersayap.

Prasasti ini berisi anugerah sima kepada Desa Talan yang juga termasuk kedalam wilayah Panumbangan memperlihatkan sebuah prasastu diatas daun lontar dengan cap kerajaan Garudamuka yang sudah mereka dapatkan dari Bhatara Guru di tahun 961 saka.

Tepatnya pada tanggal 27 januari 1040 masehi serta menetapkan desa talan sebagai sima yang bebas dari kewajiban iuran pajak sehingga mereka memohn supaya prasasti tersebut dapat dipindahkan diatas batu dengan cap kerajaan Narasingja. Raja Jayabaya mengabulkan permintaan rakyat Talan karena kesetiaannya terhadap raja dan menambah anugerah berupa berbagai hak istimewa.

B. Sejarah Awal Berdirinya Kerajaan Kediri


Sejarah Awal Berdirinya Kerajaan Kediri

Konon wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian dari Kerajaan Kahuripan. Hingga saat ini, belum ada bukti pasti tentang peristiwa dimasa awal beridirinya Kerajaan Kediri. Pada tahun 1116-1136 raja Kameswara menikah dengan Dewi Kirana yang merupakan puteri dari kerajaan Janggala. Secara otomatis, berakhirlah masa Kerajaan Jenggala karena dipersatukan kembali dengan Kerajaan Kediri.

Seiring perkembangan zaman, Kerajaan Kediri tumbuh berkembang menjadi besar dan cukup kuat diwilayah Jawa. Pada masa ini juga dituliskan sebuah kitab bernama Kakawin Smaradahana yang dikenal dalam kesusastraan Jawa sebagai cerita Panji.

Beberapa ahli menyebutkan kalau arti dari nama Kediri berasal dari kata “Kedi” yang berarti “Mandul” atau “wanita yang tidak datang bulan”. Sedangkan menurut kamus bahasa Jawa Kuno Wojo Wasito, “Kedi” artinya orang kebiri, bidan, atau dukun.

Dalam perlakonan wayang, arjuno sempat menyamar menjadi guru tari di Negara Wirata yang bernama “Kedi Wrakantolo”. Jika dihubungkan dengan salah seorang tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, “Kedi” diartikan sebagai suci atau wadad.

Sedangkan arti kata “diri” adalah Adeg, Angdhiri, menghadiri atau menjadi raja (bahasa Jawa Jumenengan). Pada prasasti “Wanua” tahun 830 saka berbunyi:

“Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban” yang berarti pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban”.

Nama Kediri juga banyak ditemukan dalam kesusastraan Kuno yang menggunakan bahasa Jawa Kuno, diantaranya: Kitab Samardana, Pararaton, Negara Kertagama, dan Kitab Calon Arang. Selain itu, nama Kediri juga terdapat dalam prasasti, seperti: Prasasti Ceber tahun 1109 saka yang berada di Desa Ceker, yang sekarang berubah menjadi Desa Sukoanyar Kecamatan Mojo.

Dalam prasasti ini disebutkan bahwa penduduk Ceker juga berjasa kepada Raja, sehingga mereka mendapat hadiah berupa “Tanah Perdikan”. Selain itu, dalam prasasti tertulis “Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri” yang memiliki arti raja sudah kembali kesimanya, atau harapannya di dalam Bhumi Kadiri.

Prasasri Kamulan tahun 1116 saka terletak di Desa Kamulan, Kabupaten Trenggalek. Menurut Damais, tepatnya tanggal 31 Agustus 1194, prasasti ini menceritakan nama Kediri yang diserang oleh raja dari Kerajaan sebelah Timur.

“Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo”, maka dari itu raja meninggalkan istananya yang beradad di Katangkatang (“tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri”).

Ketika Bagawantabhari mendapatkan anugerah berupa tanah perdikan dari seorang Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis dalam tiga prasasti yang bernama Harinjing. Awal mulanya Kerajaan Kediri hanya sebuah kerajaan kecil yang berkembang dan berubah namanya menjadi Kerajaan Panjalu yang besar dan dikenal hingga sekarang.

C. Letak dan Peta Kerajaan Kediri


Letak dan Peta Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri terletak di daerah Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Pusat pemerintahannya berada di Kota Daha, kalau saat ini disebut dengan Kota Kediri. Kota Daha ini sudah ada sebelum Kerajaan Kediri berdiri, Daha sendiri adalah singkatan dari Dahanapura yang berarti kota api.

Nama Daha juga tertulis dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan oleh Airlangga tahun 1042. Hal ini juga sama dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa. Ketika akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, tapi dipindahkan ke Daha.

D. Silsilah Kerajaan Kediri

Menurut sejarah, Kerajaan Kediri pernah dipimpin oleh 8 orang raja. Diantara kedelapan raja tersebut, yang dapat membawa Kerajaan Kediri pada masa keemasan adalah Prabu Jayabaya yang namanya dikenal hingga sekarang. Berikut silsilah kerajaan Kediri:

1. Sri Jayawarsa

Raja Sri Jayawarsa sempat memerintah Kerajaan Kediri, hal ini tertulis dalam Prasasti Sirah Keting tahun 1104 M. Pada masa pemerintahannya, Sri Jayawarsa pernah memberikan hadiah kepada rakyat desa kerajaan sebagai bentuk penghargaan, karena rakyatnya berjasa kepada sang raja. Prasasti juga menceritakan bahwa Sri Jayawarsa sangat perhatian kepada rakyatnya dan berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

2. Sri Bameswara

Raja Sri Bameswara merupakan raja kediri yang banyak meninggalkan prasasti selama memerintah. Prasasti-prasasti tersebut banyak ditemukan di daerah Tulung Agung dan Kertosono. Kebanyakan prasasti menceritakan tentang masalah keagamaan, sehingga dapat disimpulkan keadaan pemerintahannya sangat baik.

3. Prabu Jayabaya

Raja Prabu Jayabaya merupakan raja kediri yang berhasil membawa Kerajaan Kediri menuju puncak kejayaan. Jayabaya memerintah kerajaan mulai tahun 1130 sampai 1157 M. Prabu Jayabaya menggunakan strategi pemerintahan yang bagus untuk memakmurkan rakyatnya. Saat itu, ibukota kerajaan terletak di Dahono Puro. Dhono Puro pada saat itu berada di bawah kaki Gunung Kelud dengan tanah yang subur, yang membuat segala macam tanaman dapat tumbuh dengan mudah.

Hasil perkebunan dan pertanian saat itu melimpah ruah. Ditengah kota juga terdapat aliran Sungai Brantas yang airnya sangat bening dan banyak ikan hidup didalamnya. Hasil bumi ini juga diekspor ke Kota Jenggala menggunakan perahu dengan menyusuri sungai. Saat itu, roda perekonomian sangatlah lancar sehingga Kerajaan Kediri mendapat julukan sebagai negara yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja”.

Selain itu, bidang spiritual dan material pada masanya tak tanggung-tanggung. Dengan sikap yang bijaksana, adil pada rakyat, sangat merakyat dan menjalankan visi misi nya membuat Prabu Jayabaya dikenang hingga saat ini.

4. Sri Sarwaswera

Cerita tentang Raja Sri Saraswera tertulis dalam sebuah prasasti bernama Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161). Ia adalah raja yang sangat taat beragama dan berbudaya serta memegang teguh prinsip “tat wam asi” yang memiliki arti “dikaulah itu, dikaulah (semua) itu, semua mahluk adalah engkau”.

Menurut Sri Sarwaswera, tujuan hidup manusia yang terakhir adalah moksa yang berarti pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah jalan yang mengarah kepada kesatuan, sehingga segala sesuatu yang menghalagi kesatuan adalah hal yang tidak benar.

5. Sri Aryeswara

Cerita tentang Raja Sri Aryeswara tertulis dalam prasasti Angin 1171 M. Beliau adalah seorang raja yang memerintah sekitar tahun 1171 M. Beliau mendapat gelar abhisekanya yakni Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatara Arijamuka.

Didalam prasasti diceritakan kapan Sri Aryeswara diangkat menjadi raja dan kapan masa pemerintahannya berakhir. Pada masa pemerintahannya, ia meninggalkan prasasti Angin yang tertulis angka tahun 1171 M. Ketika itu lambang dari Kerajaan Kediri adalah Ganesha. Menurut prasasti tersebut, raja yang menjadi raja setelah Sri Aryeswara adalah Sri Gandra.

6. Sri Gandra

Dalam prasasti Jaring tertulis kalau Sri Gandra memerintah Kerajaan Kediri pada tahun 1181 M. Dalam prasasti juga diceritakan tentang penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti nama gajah, kebo, dan juga tikus. Penggunaan nama hewan ini untuk menggambarkan tingkat tinggi rendahnya pangkat seseorang didalam wilayah kerajaan.

7. Sri Kameswara

Dalam prasasti Ceker dan prasasti Smaradhana tertulis kalau Sri Gandra memerintah pada tahun 1182 M. Pada masa pemerintahannya tahun 1182 hingga 1185 M, bidang sastra mengalami perkembangan yang sangat pesat. Salah satu contohnya adalah Empu Dharmaja yang mampu mengarang kitab Smaradhana. Oleh sebab itu, pada masa pemerintahannya dikenal cerita-cerita panji seperti cerita Panji Semirang.

8. Sri Kertajaya

Dalam prasasti Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakertagama, Serta Pararaton, tertulis cerita tentang Sri Kertajaya yang memerintah pada tahun 1190 hingga 1222 M.

Sri Kertajaya dikenal sebagai “Dandang Gendis”. Pada masa pemerintahannya, kerajaan mengalami penurnan. Hal ini dikarenakan Kertajaya ingin mengirangi hak-hak dari kaum Brahmana. Hal ini tentu langsung ditentang oleh kaum Brahmana.

Pada masa itu, kedudukan kaum Brahmana semakin tidak dianggap. Banyak kaum Brahmana yang kabur menuju Tumapel yang pada saat itu dipimpin oleh Ken Arok. Ketika raja Kertajaya mengetahui hal tersebut, ia menyiapkan pasukan untuk segera menyerang Tumapel. Sementara itu, Tumampel yang dipimpin oleh Ken Arok mendapat dukung penuh oleh kaum Brahmana untuk menyerang balik Kerajaan Kediri. Kedua pasukan bertemu di dekat Ganter pada tahun 1222 M.

E. Daftar Raja-Raja Kerajaan Kediri

Berikut ini adalah daftar raja yang pernah memerintah di Daha, Ibu kota Kadiri. Daftar nama-nama raja ini diambil berdasarkan kitab atau prasasti peninggalan Kerjaan Kediri.

Pada waktu Daha menjadi ibu kota kerajaan utuh
Airlangga adalah pendiri kota Daha sebagai pengganti kota Kahuripan. Menurut Nagarakertagama, kerajaan yang dipimpin oleh Airlangga sebelum dipecah sudah bernama Panjalu.

1. Pada waktu Daha menjadi ibu kota Panjalu

  • Sri Samarawijaya, putra Airlangga yang namanya ditemukan dalam prasasti Pamwatan (1042).
  • Sri Jayawarsa, berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104). Belum diketahui secara pasti apakah ia adalah pengganti langsung Sri Samarawijaya atau bukan.
  • Sri Bameswara, didasarkan prasasti Padelegan I (1117), prasasti Panumbangan (1120), dan prasasti Tangkilan (1130).
  • Sri Jayabhaya, merupakan raja terbesar Panjalu, berdasarkan prasasti Ngantang (1135), prasasti Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157).
  • Sri Sarweswara, didasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161).
  • Sri Aryeswara, didasarkan prasasti Angin (1171).
  • Sri Gandra, didasarkan prasasti Jaring (1181).
  • Sri Kameswara, didasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana.
  • Sri Kertajaya, didasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton.

2. Pada waktu Daha menjadi bawahan Singhasari

Kerajaan Panjalu mengalami keruntuhan pada tahun 1222 dan menjadi bawahan Singhasari. Berdasarkan prasasti Mula Malurung, diketahui raja-raja Daha pada zaman Singhasari, yaitu:
  • Mahisa Wunga Teleng putra Ken Arok
  • Guningbhaya adik Mahisa Wunga Teleng
  • Tohjaya kakak Guningbhaya
  • Kertanagara cucu Mahisa Wunga Teleng (dari pihak ibu), yang kemudian menjadi raja Singhasari

3. Pada waktu Daha menjadi ibu kota Kadiri

Jayakatwang merupakan keturunan Kertajaya yang menjadi bupati Gelang-Gelang. Pada tahun 1292 ia memberontak dan menyebabkan runtuhnya Kerajaan Singhasari. Kemudian Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tapi pada tahun 1293 ia ditaklukkan oleh Raden Wijaya pendiri Majapahit.

4. Pada waktu Daha menjadi bawahan Majapahit

Mulai dari tahun 1293 Daha menjadi negeri bawahan Majapahit yang paling utama. Raja yang berkuasa bergelar Bhre Daha tetapi hanya bersifat simbol, karena pemerintahan dilaksanakan oleh patih Daha. Bhre Daha yang pernah menjabat ialah:
  • Jayanagara 1295-1309 Nagarakretagama.47:2; Prasasti Sukamerta - didampingi Patih Lembu Sora.
  • Rajadewi 1309-1375 Pararaton.27:15; 29:31; Nag.4:1 - didampingi Patih Arya Tilam, kemudian Gajah Mada.
  • Indudewi 1375-1415 Pararaton.29:19; 31:10,21
  • Suhita 1415-1429 ?
  • Jayeswari 1429-1464 Pararaton.30:8; 31:34; 32:18; Waringin Pitu
  • Manggalawardhani 1464-1474 Prasasti Trailokyapuri

5. Pada waktu Daha menjadi ibu kota Majapahit

Berdasarkan Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513 Daha berubah menjadi ibu kota Majapahit yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja sangat identik dengan Dyah Ranawijaya yang ditaklukkan oleh Sultan Trenggana raja Demak tahun 1527.

Mulai saat itu nama Kediri lebih terkenal daripada Daha. Apabila dicocokkan dengan saat ini berdasarkan peta daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit dan peta Provinsi Jawa Timur maka bisa dilihat kalau Kota Daha pada saat ini berada di daerah sekitar Pare-Kandangan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur yang memiliki banyak peninggalan arkeologis sampai sekarang.

F. Lencana Kerajaan Kediri

Setiap kerajaan pasti memiliki simbol atau lencana yang menunjukkan lambang kekuasaan. Pada masa Kerajaan Kediri, masing-masing raja memiliki lencana yang berbeda. Berikut lencana yang bisa di deteksi dari Kerajaan Kediri:
  1. Lencana Garudmukhalancana, berbentuk gambar burung garuda dipakai pada masa Raja Airlangga.
  2. Lencana Bamecwaralancana, berbentuk lambang tengkorak mengigit bulan sabit dipakai sebagai lencana Cri Maharaja Cri Bamecwara Sakalabuanatustijarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayotunggadewa.
  3. Lencana Jayabhayalancana, berbentuk tanda satu avatara dewa wisnu yakni Narasinghavatara berujud manusia kepala singa.
  4. Lencana Sarwwecwaralancana, lencana tersebut berbentuk seperti 9 buah sayap dan pada bagian ujung ada lingkaran berjambul yang dikelilingi 3 lingkaran bergaris.
  5. Lencana Aryyecwaralancana, berbentuk Ganesha yang dipakai Cri Maharaja Rakai Hino Cri Aryyecwara Madhusudanawatarijaya Mukha, Sakalanhuana tustikarana niwaryya Parakramotunggadewanama
  6. Lencana Kamecwaralancana, berbentuk kerang bersayap dan dipakai oleh Cri Maharaja Cri Kamecwara Triwikramawatara Aniwaryyawirya Parakrama Digjayotunggadewanama.
  7. Lencana Crnggalancana, digunakan oleh Cri Maharaja Cri Carwwecwara Triwikamawatara Nindita Cringgalancana Digjayotunggadewa atau Kertajaya yang merupakan raja terakhir Kerajaan Panjalu.

G. Kitab dan Sistem Perundang-undangan Kerajaan Kediri

Perundang-undangan yang dipakai Kerajaan Kediri saat itu disusun oleh seorang ahli hukum yang tergabung dalam Dewan Kapujanggan Istana. Sebelum menyusun undang-undang, para pakar hukum terlebih dahulu melakukan studi banding mengenai penyusunan hukum serta konstitusi dari negeri lain. Hasil dari studi banding ini nanti akan tercipta sebuah produk hukum yang bernama Kitab Darmapraja.

Kitab Darmapraja merupakan karya pustaka yang didalamnya berisi Tata Tertib Penyelenggaraan Pemerintahan dan Kenegaraan. Untuk urusan pengadilan, Raja selalu mengikuti aturan perundang-undangan yang terdapat dalam kita tersebut. Dimana nantinya akan adil dalam menentukan keputusan dan membuat semua pihak puas atas keputusan tersebut (Brandes, 1896:88).

Dalam kitab juga terdapat pasal-pasal yang menggunakan kata “agama”, kemudian ditafsirkan menjadi undang-undang atau Kitab Perundang-undangan. Yang membuatnya menjadi berbeda adalah perumusannya saja, karena yang satu lebih panjang dibanding yang lain dan kelengkapan sekaligus penjelsan dari pasal yang pendek.

Kitab Undang-undang Agama adalah kitab utama tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Selain itu, terdapat juga undang-undang Hukum Perdata. Tata cara jual-beli, pembagian warisan, pernikahan, dan perceraian termasuk dalam undang-undang Hukum Perdata (Hazeu, 1987:87). Sebenarnya, belum ada perincian tegas antara undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Perdata pada masa Kerajaan Kediri.

Tapi, menurut sejarah perundang-undangan Hukum Perdata tumbuh dari Hukum Pidana, jadi percampuran Hukum Perdata dan juga Hukum Pidana dalam kitab perundang-undangan Agama diatas bukanlah suatu keganjilan ditinjau dari segala segi sejarah hukum.

H. Sistem Peradilan Kerajaan Kediri

Penggunaan Sistem Peradilan Kerajaan Kediri saat itu memiliki tujuan untuk mencapai kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan serta kerajaan (Stuterheim, 1930:254). Dengan adanya kepastian hukum, maka hak dan kewajiban seluruh rakyat kerajaan dapat terjamin. Keseimbangan hak dan kewajiban rakyat akan membuahkan ketentraman lahir dan batin dalam kehidupan kerajaan.

Antara aparat dan rakyat di kerajaan semua menghormati hukum atau darma semata-mata untuk terjaganya kepentingan bersama. Semua keputusan akan diambil di pengadialn yang didasarkan atas nama Raja yang disebut Sang Amawabhumi dengan artian orang yang memiliki atau menguasai negara.

Didalam mukadimah Darmapraja ditegaskan bahwa:
Semoga Sang Amawabhumi teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah trap. Jangan sampai orang yang bertingkah salah, luput dari tindakan. Itulah kewajiban Sang Amawabhumi, jika beliau mengharapkan kerahayuan negaranya (Moedjanto, 1994:56).

Dalam hal pengadilan, seorang raja dibantu oleh dua orang Adidarma Dyaksa. Pertama seorang Adidarma Dyaksa Kasiwan dan kedua seorang Adidarma Dyaksa Kabudan. Mereka adalah kepala agama Siwa dan juga kepala agama Budha yang disebut Sang Maharsi, karena kedua agama tersebut adalah agama utama di Kerajaan Kediri dan segala perundang-undangan didasarkan pada agama.

Pada waktu itu, kedudukan seorang Adidarma Dyaksa setara degan kedudukan Hakim Tinggi. Mereka dibantu oleh lima orang upapati yang berarti pembantu di dalam pengadilan atau pembantu Adidarma Dyaksa. Mereka juga dikenal dengan Pamegat atau Sang Pamegat yang berarti Sang Pemutus atau Hakim. Adidarma Dyaksa atau Upapati sama-sama bergelar sang Maharsi.

Awalnya, Upapati hanya berjumlah lima orang yakni: Sang Pamegat Tirwan, Sang Pamegat Kandamuhi, Sang Pamegat Manghuri, Sang Pamegat Jambi, dan Sang Pamegat Pamotan. Mereka semua adalah golongan kasiwan, karena agama siwa adalah agama resmi bagi Kerajaan Kediri dan memiliki pengikut yang paling banyak.

Kemudian, pada masa pemerintahan Jayabaya jumlah Upapati ditambah dua lagi sehingga menjadi tujuh Upapati. Kedua upapati itu adalah Sang Pamegat Kandangan Tuha dan Sang Pamegat Kandangan Rare. Kedua upapati ini masuk kedalam golongan Kabudan (agama Budha), jadi ada lima upapati Kasiwan dan dua upapati Kabudan. Perbandingan upapati ini sudah sangat pas, karena jumlah pemeluk agama Siwa lebih banyak dibanding dengan pemeluk agama Budha.

Ketika Prabu Jayabaya memerintah di wilayah Mamenang, ia dihadapkan oleh pembagian pembesar, seperti: Dyaksa, Upapati, dan Para Panji yang paham tentang Undang-undang (Rassers, 1959:243). Dalam keterangan tersebut, maka bisa disimpulkan kalau para Panji adalah pembantu para Upapati mengenai pengadilan di daerah-daerah.

Dalam Kesultanan Yogyakarta, pangkat panji masih dikenal hingga tahun 1940 dan ditugaskan di pengadilan. Jadi tidak terlalu berbeda dengan Para Panji di masa Kerajaan Kediri.

Pada bidang Lembaga Peradilan, Kerajaan bertanggung jawab kepada para raja secara langsung, akan tetapi segala urusan sengketa yang terjadi antara keluarga dan raja menggunakan peradilan khusus. Dengan demikian, intervensi dan kontaminasi terhadap hasil keputusan sidan dapat terhindar. Untuk urasan ini, raja mempunyai satff hukum yang profesional sehingga tidak diragukan lagi integritas dan kredibilitasnya.

I. Hukum Positif dan Budaya Simbolik Kerajaan Kediri

Pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, prinsip atas pelaksanaan tatanan negara dibagi menjadi dua yakni hukum positif dan budaya simbolik. Hukum Positif merupakan hukum yang didasarkan pada peraturan tertulis yang disepakati bersama. Umumnya, hukum positif memiliki sifat yang praktis, teknis, dan mikro.

Semua transaksi dan kegiatan kehidupan yang menyangkut jual-beli, dagang, ekonomi, politik, karier, birokrasi, organisasi, dan perkawinan diatur secara terperinci. Selain itu, dalam Hukum Positif jika ada pelanggaran hukum yang terjadi maka akan ada sanksi dan denda yang diatur secara jelas.

Sedangkan untuk urusan penataan kehidupan masyarakat, prabu Jayabaya menggunakan pendekatan budaya simbolik. Untuk menunjang program itu, Prabu Jayabaya menyuruh para pujangga agar menulis karya cipta dengan tujuan agar aparat dan rakyat patuh terhadap norma susila. Jika terdapat pelanggaran hukum, maka sanksi yang diberikan bersifat ghaib atau spiritual.

Pujangga yang mendapat amanat untuk menuliskan kitab spiritual itu adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh. Empu Sedah adalah orang yang menyusun kakawin Baratayudha di tahun 1157 M atau sekitar ahun 1079 Saka, dengan sangkalanya yang berbunyi Sangha Kuda Suddha Candrama. Tapi, beliau wafat sebelum karyanya selesai. Kemudian kakawinan Baratayudha diberikan kepada Prabu Jayabaya, Mapanji Jayabaya, dan Jayabaya Lakasan atau Sri Warmeswara.

Pada waktu itu, tingkat kecerdasan masayarakat kerajaan berbeda-beda, sehingga hukum positif yang dibuat oleh kalangan elit kerajaan ada yang tidak dipahami oleh masyarakat awam kerajaan. Hal ini juga disadari oleh pihak kerajaan kediri. Oleh karena itu, supaya tercipta suasana yang harmonis, maka dibuatlah nasehat-nasehat simbolis yang bersifat mistis.

Pada prakteknya, nasehat yang diuat oleh Jayabaya dipercaya oleh masyarakat dan digunakan sebagai pengiring sekaligus pelengkap dari hukum positif. Dengan begitu, budaya simbolik ini bisa diterapkan untuk mencapai ketertiban sosial.

Prabu Jayabaya adalah seorang raja besar laksana Dewa Keadilan yang Angejawantah Ing Madyapada. Ia dikenal mempunyai sikap yang sangat bijaksana dan wibawa sehingga dapat membawa Kerajaan Kediri mencapai masa kejayaan dan keemasan, serta kehidupan masyarakat kerajaan hidup tentram dan nyaman.

Selama menjabat, Jayabaya memegang kendali pemerintahan dan juga tata praja. Beliau sukses mewujudkan cita-cita negara yang Gedha Obore, Padhang Jagade, Dhuwur Kukuse, Adoh Kuncarane, Ampuh Kawibawane. Masyarakat kerajaan bisa merasakan negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja.

Pada waktu itu, ada konsep Saptawa yang digunakan dalam program utama Prabu Jayabaya yaitu:
  1. Wastra (sandang)
  2. Wareg (pangan)
  3. Wisma (papan)
  4. Wasis (pendidikan)
  5. Waras (kesehatan)
  6. Waskita (keruhanian)
  7. Wicaksana (kebijaksanaan)

Masyarakat Jawa meyakini kalau Prabu Jayabaya selalu bersikap arif dan bijaksana serta menujunjung tinggi hukum yang berlaku.

Semua golongan masyarakat kerajaan mendukung sistem pemerintahannya. Bentuk kearifan warisan dari para leluhur raja jawa menjadi referensi untuk membawa kebesaran dari bumi Nusantara. Selain kepemimpinannya yang selalu mengutamakan kepentingan bersama, kejayaan Kerajaan Kediri juga didukung oleh kejeliannya dalam menyusun undang-undang dasar yang mengikat.

J. Kehidupan Politik dan Pemerintahan Kerajaan Kediri

Pada tahun 1019 M, Airlangga diangkat menjadi raja Medang Kamulan. Ketika itu, Airlangga berusaha untuk memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan. Setelah ia berhasil memulihkan kewibawaan kerajaan, Airlangga memindahkan ibukota kerajaan yang awalnya di Medang Kamulan menuju Kahuripan.

Dengan kegigihannya memperjuangkan Medan Kamulan, Kerajaan itu berhasil mencapai puncak kejayaannya. Menjelang akhir masa kepemimpinannya, Airlangga memutuskan untuk mengundurkan diri dari pemerintahan dan menjadi seorang petapa yang disebut Resi Gentayu. Beliau akhirnya wafat pada tahun 1049 M.

Yang menjadi pewaris tahta kerajaan pada waktu itu harusnya seorang puteri yang bernama Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri kerajaan. Tapi, ia memilih untuk menjadi seorang petapa, maka tahta kerajaan jatuh kepada putra Airlangga yang lahir dari Selir.

Dengan tujuan menghindari peperangan di internal kerajaan, Airlangga memutuskan untuk membagi Kerajaan Kamulan menjadi dua bagian yakni Kerajaan Jenggala dengan ibukota Kahuripan, dan Kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibukota Daha. Tapi upaya ini gagal untuk meghindari peperangan.

Hal ini dibuktikan dengan sejarah di abad ke 12, dimana kerajaan Kediri adalah kerajaan yang subur namun tidak damai sepenuhnya karena dibayangi oleh kondisi Jenggala yang kian melemah. Hal ini menimbulkan kemunafikan pada setiap golongan kerajaan sehingga memicu pembunuhan terhadap pangeran dan raja-raja di kedua kerajaan.

Peperangan dimenangkan oleh Kerajaan Kediri (Panjalu), karena kondsi kerajaan Jenggala kian melemah. Pada akhirnya kerajaan ini bersatu kembali di bawah kepemimpinan Kerajaan Kediri.

Salah satu raja yang sempat memerintah Kerajaan Kediri adalah Mapanji Garasakan. Tapi, masa pemerintahannya tidaklah terlalu lama. Beliau digantikan oleh raja Mapanji Alanjung pada tahun 1052 hingga 1059 M. Kemudian, Mapanji Alanjung digantikan oleh Sri Maharaja Samarotsaha.

Sayangnya, pertempuran antara Kerajaan Jenggala dengan Panjalu terjadi terus menerus selama 60 tahun. Hal ini menyebebkan tidak adanya bukti yang jelas tentang kedua kerajaan tersebut sampai munculnya nama Raja Bameswara (1116-1135 M) dari Kediri.

Pada waktu itu, ibukota kerajaan kediri sudah dipindahkan dari Daha menuju Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan Kerajaan Kediri. Ketika itu, Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan yang menyerupai tengkorak bertaring diatas bulan sabit yang biasa disebut dengan Candrakapala. Setelah Bameswara wafat, ia digantikan oleh Prabu Jayabaya yang berhasil membawa Kerajaan Kediri kemasa keemasan atau puncak kejayaan.

K. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kediri

Tatacara dan strategi kepemimpinan yang digunakan Prabu Jayabaya memang pantas diacungi jempol (Gonda, 1925:111). Pada waktu itu, pusat pemerintahan terletak di Dahanapura dibawah kaki gunung Kelud. Karena terletak dibawah kaki gunung, tanahnya memiliki kualitas yang sangat subur dan membuat sektor pertanian dan perkebunan berlimpah ruah.

Selain itu, ditengah kota terdapat aliran sungai brantas yang menjadi perairan bagi lahan pertanian. Air sungainya sangat bening dan banyak dihidupi oleh ikan air tawar yang kaya protein dan gizi. Hasil bumi ini tak hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan Kerajaan Kediri, tapi juga diekspor ke Kota Jenggala menggunakan perahu.

Roda perekonomian saat itu memang sangat lancar, sampai-sampai Kerajaan Kediri disebut sebagai negara yang Gemah Ripah Loh Jenawi Tata Tentrem Karta Raharja. Selain itu, sumber perekonomian kerajaan Kediri juga berasal dari usaha perdagangan, perternakan, dan pertanian.

Kerajaan Kediri dikenal sebgai kawasan penghasil beras, kapas, dan pemelihara ulat sutra. Dengan begitu. Perekonomian Kerajaan Kediri sudah dianggap cukup makmur. Pihak kerajaan juga memiliki program untuk memberikan penghasilan tetap kepada para pegawai atau rakyat meski dibayar dengan menggunakan hasil bumi. Hal ini terdapat dalam kitab Chi-fan-chi dan kitan Ling-wai-tai-ta. Sedangkan untuk wadah penghasilan kerajaan, diberlakukan pajak untuk seluruh anggota wilayah kerajaan.

Yang menjadi komoditas dagang di Kerajaan Kediri pada waktu itu adalah: emas, perak, daging, dan kayu cendana. Untuk pembayaran pajak berupa beras, kayu, dan palawija.

L. Kehidupan Agama dan Spiritual Kerajaan Kediri

Agama yang diakui dan tumbuh serta berkembang di Kerajaan Kediri saat itu adalah agama Hindu aliran Waisnawa (Airlangga Titisan Wisnu). Untuk urusan spiritual dan keagamaan, kerajaan Kediri sangatlah maju (Pigeaud, 1924:67). Karena terdapat tempat peribadatan dimana-mana.

Orang yang dipanggil dengan guru kebatinan juga memiliki tempat yang terhormat. Sang prabu juga sering melakukan kegiatan tirakat, tapa brata dan semedi. Jayabaya sangat senang bermeditasi di dalam hutan yang sepi. Laku prihatin dengan cagah dhahar lawan guling, mengurangi makan tidur. Hal ini sudah menjadi kegiatan ritual sehari-harinya.

Sudah tak heran lagi jika prabu jayabaya mengerti mengenai sadurunge winarah (tahu sebelum terjadi) yang dapat meramal owah gingsire jaman. Ramalan yang ia sebutkanpun biasanya relevan untuk dipakai dalam membaca tanda-tanda jaman pada waktu itu.

Prabu Jayabaya memerintah sejak 1130-1157 M, dalam masa pemerintahannya itu, ia tak tanggung-tanggung memberikan dukungan spiritual dan material untuk urusan hukum dan pemerintahannya. Begitu juga sikapnya yang dermawan, merakyat, bijaksana dan adil turut dikenang sepanjang masa.

Untuk urusan kehidupan beragama sudah diatur dalam undang-undang. Pada setiap bab, sudah dimuat pasal-pasal yang sejenis, sehingga dalam penulisannya terdapat sistematika tersendiri. Jadi dapat disimpulkan kalau pada awalnya, susunan dari undang-undang menganut pada suatu sistem.

Berikut adalah susunan kitab hukum per undang-undangan:
  • Bab I: Sama Beda Dana Denda, berisi mengenai ketentuan diplomasi, aliansi, konstribusi dan sanksi.
  • Bab II: Astadusta, berisi mengenai sanksi delapan kejahatan (penipuan, pemerasan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, pembalakan, penindasan dan pembunuhan)
  • Bab III: Kawula, berisi mengenai hak-hak dan kewajiban masyarakat sipil.
  • Bab IV: Astacorah, berisi mengenai delapan macam penyimpangan administrasi kenegaraan.
  • Bab V: Sahasa, berisi mengenai sistem pelaksanaan transaksi yang berkaitan pengadaan barang dan jasa.
  • Bab VI: Adol-atuku, berisi mengenai hukum perdagangan.
  • Bab VII: Gadai atau Sanda, berisi mengenai tata cara pengelolaan lembaga pegadaian.
  • Bab VIII: Utang-apihutang, berisi mengenai aturan pinjam-meminjam
  • Bab IX: Titipan, berisi mengenai sistem lumbung dan penyimpanan barang.
  • Bab X: Pasok Tukon, berisi mengenai hukum perhelatan.
  • Bab XI: Kawarangan, berisi mengenai hukum perkawinan.
  • Bab XII: Paradara, berisi mengenai hukum dan sanksi tindak asusila.
  • Bab XIII: Drewe kaliliran, berisi mengenai sistem pembagian warisan.
  • Bab XIV: Wakparusya, berisi mengenai sanksi penghinaan dan pencemaran nama baik.
  • Bab XV: Dendaparusya, berisi mengenai sanksi pelanggaran administrasi
  • Bab XVI: Kagelehan, berisi mengenai sanksi kelalaian yang menyebabkan kerugian publik.
  • Bab XVII: Atukaran, berisi mengenai sanksi karena menyebarkan permusuhan.
  • Bab XVIII: Bumi, berisi mengenai tata cara pungutan pajak
  • Bab XX: Dwilatek, berisi mengenai sanksi karena melakukan kebohongan publik.


M. Kehidupan Sosial dan Budaya Kerajaan Kediri

Kondisi kehidupan sosial dan budaya pada waktu itu sudah sangat teratur. Rakyat kerajaan sudah menggunakan kain sampai bawah lutut dalam kesehariannya, rambut tertata rapi, rumah bersih dan rapi. Dalam hal perkawinan, pihak perempuan menerima mas kawin berupa emas. Sedangkan orang yang sakit saat itu meminta kesembuhan kepada dewa dan budha.

Bentuk perhatian raja terhadap rakyatnya sangatlah besar. Hal ini terdapat dalam kitab Lubdaka yang berisi tentang kehidupan sosial rakyat kerajaan pada saat itu. Tinggi derajat seseorang tidak berdasarkan pada pangkat dan harta bendanya, tapi dengan moral dan tingkah lau seseorang itu.

Raja juga sangat menghargai dan menghormati hak rakyatnya, sehingga rakyat bisa bebas melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. pada waktu itu, karya sastra juga berkembang dengan pesat, sehingga banyak karya sastra yang dihasilkan. Contohnya pada masa Prabu Jayabaya yang mengutus Empu Sedah untuk mengubah bahasa dari kitab Bharatayuda kedalam bahasa jawa kuno.

Akan tetapi, dalam proses pengerjaannya Empu Sedah wafat. Karya tersebut akhirnya diteruskan oleh Empu Panuluh. Di dalam kitab tersebut, nama Prabu Jayabaya sering disebut sebagai bentuk sanjungan terhadap sang raja. Kitab tersebut bertuliskan angka tahun dalam bentuk candrasangkala, sangkida suddha candrama (1079 saka atau 1157 M).

Selain itu, empu Panuluh juga pernah menulis kitab Gatutkacasraya dan Hariwangsa. Sedangkan pada masa pemerintahan Kamesawara juga terdapat karya sastra, diantaranya sebagai berikut:
  • Kitab Wertasancaya, berisi tentang petunjuk cara membuat syair yang baik. Kitab ini ditulis oleh Empu Tan Akung.
  • Kitab Smaradhahana, merupakan sebuah kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab tersebut berisi tentang pujian kepada sang raja sebagai seorang titisan Dewa Kama. Kitab tersebut juga menceritakan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.
  • Kitab Lubdaka, penulisnya adalah Empu Tan Akung. Kitab tersebut berisi tentang kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang pada mestinya masuk neraka. Sebab pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa serta rohnya diangkat menuju surga.

Masih ada karya sastra lain yang juga ditulis pada masa Kerajaan Kediri berlangsung, diantaranya adalah:
  • Kitab Kresnayana karangan dari Empu Triguna berisi tentang riwayat Kresna sebagai anak nakal, namun tetap dikasihi setiap orang sebab ia suka menolong dan juga sakti. Kresna pada akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
  • Kitab Samanasantaka merupakan karangan dari Empu Managuna yang menceritakan mengenai kisah Bidadari Harini yang terkena kutukan dari Begawan Trenawindu.

Tak hanya berbentuk kitab, ada juga karya sastra yang ditemukan dalam bentuk relief pada suatu candi. Contohnya adalah cerita Kresnayana yang dapat ditemukan dalam relief Candi Jago bersamaan dengan relief Parthayajna dan juga Kunjarakarna.

N. Karya di Bidang Hukum Tata Negara

Raja jayawarsa adalah seorang patron untuk para pujangga dalam hal mengembangkan dinamika ilmu hukum serta tata praja. Pada waktu itu, cendikiawan yang mempunyai bakat diberikan fasilitas untuk mengaktualisasikan idealismenya.

Pernyataan ini didukung dan digaris bawahi oleh pujangga terdahulu. Karya hukum dan tata praja yang diciptakan oleh Empu Triguna adalah Kakawin Kresnayana. Empu Triguna adalah seorang pujangga yang  hidup pasa masa pemerintahan Prabu Jayawarsa tahun 1026 saka atau 1104 M (Poerbatjaraka,1957:18).

Kakawinan Kresnayanan ini berisi tentang ilmu hukum dan juga pemerintahan. Sebagai seorang humanis, prabu jayawarsa juga peduli terhadap kehidupan ilmu pengetahuan. Empu Triguna memiliki seorang rekan bernama Empu Manoguna, keduanya adalah pujangga sekligus konsultan dan penasihat utama di jaman prabu jayawasa di dalam Kerajaan Kediri.

Empu Manoguna juga membuat sebuah karya hukum dan tata praja yang bernama Kakawin Sumanasantaka yang sumber ceritanya dari Kitab Raguwangsa karya Sang Kalisada pujangga besar dari India. Dalam perkembangannya, Kerajaan kediri dipengaruhi oleh India dimana sebagian besar bersifat Hndu atau Budha.

Hal ini didukung dengan ungkapan yang menggunakan bahasa sansekerta yang masuk dalam kosakata ilmu pengetahuan jawa kuno. Sumanasantaka berasal dari kata sumanasa – kembang dan antaka = mati, artinya mati oleh kembang. Inti dari sumanasantaka ini menceritakan kebijaksanaan dari seorang raja dalam upaya memimpin rakyatnya.

Empu Dharmaja juga ikut andil meciptkan karya hukum dan tata praja yang terkenal yang dikasih nama Kakawin Smaradahana dan Kakawin Bomakawya. Kakawinan Samaradahana menceritakan Batara Kamajaya yang mempunyai sifat keagungan. Sedangkan Kakawinan Bomakawya menurut Teeuw (1946:97) menceritakan tentang cara memimpin berdasarkan pada nilai keadilan dan perdamaian.

Kesuksesan kerajaan juga tak luput dari peran cendikiawan terkemuka seperti, Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Triguna, dan Empu Manoguna yang di juluki sebagai Jalma Sulaksana. Jalma Sulaksana berarti manusia paripurna yang sudah mendapatkan derajat oboring jagad raya.

Keberhasilan pemerintahan Jayabaya juga terbukti dengan adanya kitab-kitab hukum dan kenegaraan. Sebagaimana yang sudah terhimpun dalam karya-karya Kakawin Bharatayuda karangan Empu Sedah dan Empu Panuluh. Gathotkacasraya dan Hariwangsa karangan Empu Panuluh yang sampai sekarang merupakan warisan ruhani bermutu tinggi.

O. Masa Kejayaan Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan atau keemasan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya. Pada masa kepemimpinannya, wilayah kerajaan meluas hingga hampir ke segala penjuru pulau Jawa. Selain itu, pengaruh dari Kerajaan Kediri juga berhasil masuk sampai ke Pulau Sumatera yang saat itu sedang dikuasai Kerajaan Sriwijaya.

Keberhasilan Kerajaan Kediri semakin diperkuat dengan adanya catatan dari kronik Cina yang bernama Chou Ku-fei pada tahun 1178 M. Kronik cina tersebut menceritakan tentang Negeri yang paling kaya di masa Kerajaan Kediri dengan pemimpinnya Raja Sri Jayabaya.

Tak hanya wilayahnya yang besar, tapi perekonomian, agama, politik, sosial, budaya dan sastranya juga mengalaim kesuksesan dan keberhasilan yang bagus. Sehingga kerajaan Kediri makin disegani pada waktu itu.

P. Masa Keruntuhan Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri atau yang dikenal dengan kerajaan Panjalu mulai mengalami masa kemunduran pada masa pemerintahan Kertajaya dengan sebutan Dandang Gendis. Hal ini juga sudah dikisahkan dalam “Pararaton” dan “Negarakertagama”.

Pada tahun 1222, Kertajaya mengalami perselisihan dengan kaum Brahmana. Perselisihan terjadi akibat hak-hak dari kaum Brahmana ditiadakan, sehingga membuat keberadaan kaum brahmana menjadi tidak aman. Banyak dari kaum brahmana yang melarikan diri dan meminta perlindungan kepada Tumampel yang pada waktu itu diperintahkan oleh Ken Arok.

Hal inipun akhirnya diketahui oleh Kertajaya, sehingga ia mengirim pasukannya untuk melakukan penyerangan ke Tumampel. Saat itu, tumampel mendapatkan dukungan penuh dari kaum brahmana untuk melakukan serangan balik ke Kerajaan Kediri.

Peperangan tak terelakkan terjadi, kedua pasukan kerajaan bertemu di dekat Genter, sekitar Malang pada tahun 1222 M. Peperangan ini dimenangkan oleh pihak Ken Arok, namum Raja Kertajaya berhasil meloloskan diri. Akhirnya kekuasaan dari Kerajaan Kediri dikuasai oleh Kerajaan Tumampel, kemudian berdirilah Kerajaan Singasari dengan Ken Arok sebagai Raja pertamanya.

Q. Peninggalan Kerajaan Kediri

Peninggalan terbesar kerajaan kediri adalah karya sastra. Karena pada waktu itu perkembangan karya sastra sangatlah pesat, sehingga banyak sekali karya sastra yang dihasilkan. Berikut adalah beberapa kitab karya sastra peninggalan kerajaan Kediri:
  1. Kitab Wertasancaya karangan dari Empu Tan Akung yang berisi mengani petunjuk mengenai cara pembuatan syair yang baik.
  2. Kitab Smaradhahana merupakan gubahan oleh Empu Dharmaja yang berisi pujian untuk raja sebagai titisan Dewa Kama. Kitab ini juga menjelaskan mengenai nama ibu kota kerajaannya ialah Dahana.
Kitab Smaradhahana

  1. Kitab Lubdaka merupakan karangan Empu Tan Akung yang berisi mengenai kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang semestinya masuk neraka. Sebab pemujaannya yang istimewa, ia kemudian ditolong oleh dewa serta rohnya diangkat ke surga.
  2. Kitab Kresnayana merupakan karangan dari Empu Triguna yang berisi mengenai riwayat Kresna sebagai anak nakal, namun ia dikasihi semua orang sebab kerap menolong dan juga memiliki kesaktian.
Kitab Kresnayana

  1. Kitab Samanasantaka merupakan karangan dari Empu Monaguna yang menceritakan Bidadari Harini yang terkenal kepada Begawan Trenawindu.
  2. Kitab Baharatayuda meruapakan gubahan dari Empu Sedah dan juga Empu Panuluh.
Kitab Baharatayuda

  1. Kitab Gatotkacasraya dan Kitab Hariwangsa yang merupakan gubahan dari Empu Panuluh.

Selain kitab sastra, masih ada peninggalan kerajaan kediri yang lainnya seperti; candi, arca, dan prasasti. Berikut daftar peninggalannya:

1. Candi Tondowongso


Candi Tondowongso

Candi Tondowongso terdapat di Desa Gayam, Kecamatan Gurah, Kediri, Jawa Timur yang ditemukan pada tahun 2007. Dilihat dari arsitektur arca dan bentuk bangunan yang ditemukan disekitar candi memberitahukan kalau bangunan ini dibangun pada abad ke 9, diperkirakan saat pusat pemerintahan dipindahkan dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur.

2. Candi Panataran


Candi Panataran

Candi Panataran berada di lereng Gunung Kelud, Barat daya di utara Kota Blitar pada ketinggian 450 meter candi ini menjadi candi paling indah dan besar di Jawa Timur. Dilihat dari beberapa prasasti yang ditemukan di sekitar candi, menunjukkan kalau candi dibangun sekitar abad ke 12 sampai 14 M. Candi panataran atau dikenal dengan Candi Palah ini merupakan tempat peribadatan agama hindu siwaitis. Menurut nagarakertagama dan kitab desawarnana, candi ini menjadi bangunan suci yang telah dikunjungi Raja Hayam Wuruk saat melakukan perjalanan keliling Jawa Timur.

3. Candi Gurah


Candi Gurah

Candi Gurah terletak di Kecamatan Gurah, Kediri, Jawa Timur dan ditemukan pada tahun 1957. Ukuran dari candi ini adalah 9 x 9 meter dan lokasinya berada 2 km dari situs candi tondowongso. Candi gurah dan candi tondowongso memiliki kesamaan yang terletak pada arca brahma, surya, candra. Selain itu, lokasi penempatan arca dikedua candi ini sama walau pada bangunan candi tondowongso belum terlihat jelas bentuknya.

4. Candi Mirigambar


Candi Mirigambar

Candi Mirigambar terletak di Desa Mirigambar, Kecamatan Sumbergempol, Tulungagung, Jawa Timur. Diperkirakan candi ini dibangun sekitar tahun 1214 – 1310 Saka. Candi ini dibangun menggunakan batu bata merah, dimana pada dinding candi terdapat relief patung yang diukir.

5. Candi Tuban

Candi tuban terletak 500 meter dari Candi Mirigambar. Kondisi candi tuban saat ini sudah tertutup dengan tanah sehingga tidak memungkinkan untuk dibangun kembali.

6. Prasasti Kamulan


Prasasti Kamulan

Peninggalan Kerajaan Kediri selanjutnya adalah prasasti Kamulan. Prasasti ini terletak di desa Kamulan, Kabupaten Trenggalek, Jawa timur. Diperkirakan candi ini dibangun sekitar tahun 1194 masehi atau 1116 saka pada masa pemerintahan Raja Kertajaya. Prasasti ini menceritakan tentang berdirinya kabupaten trenggalek pada rabu kliwon tanggal 31 agustus 1194.

7. Prasasti Gulunggung

Prasasti ini ditemukan di Rejotangan, Tulungagung dengan ukuran 160 x 80 x 75 cm dan ditulis dengan huruf jawa kuno sebanyak 20 baris. Aksara yang ada dalam prasasti ini sudah tidak terlalu terbaca dengan jelas karena sudah banyak bagian yang rusak. Namun, pada bagian depan tertulis tahun 1123 saka dan terdapat lambang sebuah lingkaran, beberapa logo dan gambar.

8. Prasasti Jaring

Prasasti Jaring dibuat pada tahun 1181 yang menceritakan tentang pengabulan permohonan penduduk dukuh jaring lewat senapai sarwajala tentang keinginan yang tidak sempat dikabulkan oleh raja sebelumnya.

9. Prasasti Panumbangan

Prasasti ini dibuat oleh Maharaja Bameswara pada tahun 1120. Prasasti ini berisi tentang penetapan desa Panumbangan sebagai sima swatantra atau desa bebas pajak.

10. Prasasti Talan

Prasasti ini ditemukan di desa Gurit, Blitar, Jawa Timur dan dikeluarkan pada tahun 1136 M atau 1058 saka. Prasasti talan berisi tentang penetapan masuknya desa talan ke wilayaj panumbangan yang terbebas dari pajak.

11. Prasasti Sirah Keting

Prasasri sirah keting berisi tentang pemberian tanah oleh raja Jayawasa untuk rakyat desa Sirah Kering berkat jasa rakyatnya untuk Kerajaan Kediri.

12. Prasasti Kertosono

Prasasti ini menceritakan tentang masalah keagamaan pada masa pemerintahan Raja Kameswara.

13. Prasasti Ngantang


Prasasti Ngantang

Tertulis tahun 1057 saka atau 1135 masehi pada prasasti dan ditemukan di Desa Ngantang, Malang. Prasasti ini menceritakan tentang pemberian tanah bebas pajak oleh Jayabaya untuk Desa Ngantang bekat jasanya mengabdi pada Kerajaan Kediri.

14. Prasasti Padelegan


Prasasti Padelegan

Prasasti ini berisi tentang kepatuhan yang dilakukan penduduk Desa Padegalan kepada Raja Kameshwara. Prasasti ini berbentuk stella dengan puncak kurawal berukuran 145 cm, lebar atas 81 cm, lebar bawah 70 cm, dan tebal 18 cm. Prasasti ditulis menggunakan huruf aksara Jawa Kuno, namun banyak bagian yang sudah tidak terbaca. Pada prasasti tertulis angka tahun 1038 saka atau 1117 masehi.

15. Prasasti Ceker

Prasasti Ceker menceritakan tentang anugerah yang diberikan raja untuk penduduk Desa Ceker yang sudah mengabdi untuk kemajuan Kerajaan Kediri.

16. Arca Buddha Vajrasattva


Arca Buddha Vajrasattva

Arca ini berasal dari Kerajaan Kediri pada abad ke 10 atau ke 11 yang saat ini menjadi koleksi dari Museum fur Indische Kunst, Berlin, Dahlem, Jerman.

17. Arca Wisnu

Arca ini berasal dar Kediri pada abad ke 12 dan ke 13.

Demikianlah penjelasan paling lengkap tentang Kerajaan Kediri, semoga artikel ini bisa bermanfaat dan menambah wawasan kamu. Terimakasih sudah berkunjung.

Post a Comment for "Sumber Sejarah Kerajaan Kediri :Silsilah, Kehidupan, Kejayaan, Keruntuhan dan Peninggalan"

loading...
loading...
loading...